Awal Mula Komunitas Jnana
Ini adalah ceritaku tentang bagaimana akhirnya pengen bikin Komunitas Jnana
Dulu itu, aku merasa orang paling pinter di dunia. Waktu itu, aku baru habis membaca satu buku. Padahal itu buku pertama yang pernah aku baca. Tapi rasanya, seolah aku udah tahu segalanya. Udah merasa jadi pusat dunia banget.
Sampai akhirnya, aku bertemu dengan bermacam-macam orang. Terus bermacam-macam buku. Disana ide ku banyak yang berbenturan dan aku mempertanyakan apa yang sudah aku tau selama ini. Masih sedikit banget ternyata yang aku tau di dunia ini. Aku sadar
YIH. ternyata belog awake. GITU DAH. bes belog ajum.
Disinilah aku berpikir. Bertemu dengan cara berpikir yang berbeda denganku itu penting. Dengan seperti itu pikiranku bisa tumbuh. Pikiran yang salah, bisa diperbaiki. Pikiran yang baik, bisa semakin kuat.
Hal ini semakin diperburuk dengan internet. Terutama media sosial. Media sosial memiliki algoritma yang sangat canggih. Mereka bisa memahami apa topik yang aku suka. Mereka juga bisa memahami aku berpihak ke cara pemikiran yang seperti apa. Jadinya, mereka bisa memberikan tontonan yang sesuai dengan yang aku suka.
Kalau aku suka ikan cupang, yang muncul ikan cupang.
Kalau aku suka musik, yang muncul musik.
Kalau aku memilih A, yang muncul adalah pemikiran yang menguatkan aku harus memilih A.
Seru banget. Nge-scroll medsos jadi menyenangkan.
Tapi gimana kalau apa yang aku suka itu adalah hal yang buruk? Gimana kalau pilihanku ternyata salah? Sedangkan media sosial terlanjur sudah memupuk dan memompa egoku melalui algoritma mereka.
Dengan algoritma seperti ini, aku jadi melihat sesuatu. Orang itu kalo engga kiri banget, ya kanan banget. Engga mau dong aku kayak gitu.
Bener-bener buta dengan kemungkinan yang lain atau alternatif cara berpikir yang lain.
Lalu, aku mengingat-mengingat lagi. Waktu aku ngobrol sama temen, aku selalu bisa menemukan topik atau cara berpikir yang belum pernah aku temukan sebelumnya. Misal aja, aku baru tau kalau temenku yang dari luar Singaraja kuliah di Singaraja itu bener-bener culture shock pas tau gimana orang Singaraja itu berkomunikasi. Ya tau lah ya, betapa nasklengnya mulut ini.
KLENG. INI DIA JAWABANNYA
Akhirnya aku sadar, solusi dari bias algoritma ini bukan teknologi. Tapi manusia lain. Obrolan. Percakapan. Persentuhan ide.
Kebetulan waktu itu, aku lagi sering ngobrol sama temenku, Angga & Arland. Sepertinya mereka memiliki keresahan yang sama. Kita juga sama-sama seneng baca buku. Kita kepikiran: gimana kalau bikin komunitas diskusi bareng? Dari situlah ide ini muncul. Mari membuat komunitas buat berdiskusi dan ngobrol bareng.
Itu salah satu alasan aku ingin membuat komunitas ini.
Alasan lainnya adalah, aku ingin menumbuhkan minatku membaca buku. Di buku Atomic Habits, James Clear bilang kurang lebih kayak gini:
Ketika kamu ingin membangun sebuah kebiasaan baru, kelilingi dirimu dengan orang-orang yang memiliki kebiasaan itu. Tempat dimana kebiasaan itu bukan sesuatu yang aneh, melainkan sesuatu yang sangat normal untuk dilakukan. Biar kamu ga ngerasa aneh sendiri.
Hal ini bisa membangkitkan motivasi dan kita jadi nagih buat mengulang kebiasaan itu.
Ketika pengen ngegym, kelilingi diri dengan orang-orang yang ngegym.
Ketika pengen berhenti merokok, kelilingi diri dengan orang-orang yang tidak merokok.
Ketika pengen jadi orang yang setia, kelilingi diri dengan orang yang setia. Eittsss
Kebayang ga sih. Kita punya adik-adik yang baru ingin memulai menumbuhkan minat membaca. Tetapi malah membuang minat itu gara-gara diledekin sama temennya. Dibilang sok pinter lah, dibilang sok hebat lah. That's sad.
Belum lagi, Singaraja yang udah di cap sebagai kota petarung. Terus mengaku kota pendidikan, tapi ga punya toko buku. Minat bacanya rendah. Tidakkah itu menyedihkan?
Jadi, aku dan temen-temenku pengen banget membuat komunitas ini.
Biar orang-orang bisa membenturkan idenya dengan ide orang lain. Sehingga idenya ter-upgrade.
Biar orang-orang yang memiliki keinginan menumbuhkan minat baca ini memiliki rumah.
Rumah yang fun, nyaman, tanpa merasa minder, atau merasa jadi si paling pinter.
Kalau kamu juga merasa seperti aku, mari kita bangun rumah itu.
Siapa tau dari lembaran kata, tumbuh rasa.
Siapa tau teman baca, jadi teman sejiwa.